Dampak Positif Dan Negatif Buah Salak,Untuk Bumil

Gambar
Mitos: Wanita hamil yang mengkonsumsi buah salak, dapat menyebabkan janin yang dikandung juga bersisik. Fakta: Tidak benar. Salak memiliki banyak manfaat yang sangat baik untuk kesehatan Bunda dan janin. Salak menjadi sumber nutrisi yang bisa menunjang kesehatan. Jadi tidak ada hubungannya dengan janin menjadi bersisik. Manfaat salak saat hamil: - Menangkal radikal bebas - Mencegah diare - Melancarkan buang air besar - Mencegah kambuhnya asam lambung  - Mencegah anemia - Menjaga kesehatan jantung - Menjaga berat badan ideal - Membentuk dan meningkatkan kecerdasan janin - Mendukung pembentukan tulang janin - Membantu memelihara kesehatan mata janin - Dan lainnya Tips: Pilih salak dengan kulit yang masih bagus dan tidak terkelupas. Pilih yang manis, seperti salak pondoh. Jangan dikupas kulit arinya, tapi konsumsilah bersamaan. Jangan berlebihan. Atau jika memang khawatir saat ingin mengonsumsinya, konsultasikan ke dokter terlebih dahulu dapat dilakukan.

Cerita,Kado Terindah dari Menantu Miskin

KADO DARI MENANTU PETANI


Di KBM App sudah sampai bab 3, dengan judul yang sama.

"Terimakasih ya, Dimas." Ucap papa haru.

Aku melirik kearah mas Dimas, dia tampak biasa saja, ada beribu pertanyaan dalam benakku, dari mana suamiku ini mendapatkan uang sebanyak itu?

Ah nanti saja aku mengintrogasinya, aku tidak akan melewatkan momen ini, selama ini mereka selalu mengejekku tak berguna.

"Selamat ulangtahun ya, Pa. Maaf Kiara belum bisa jadi anak yang baik untuk Papa, semoga Papa suka sama kado yang kami beli didalam negeri ini," ucapku.

"Papa suka, Nak. Terimakasih banyak, ya!" Jawab papa yang aku balas anggukan.

Aku menatap wajah mereka secara bergantian, mulai dari wajah Zahra hingga Ningtias. Lalu setelah itu menatap mereka sama seperti mereka menatapku tadi. 

Ekspresi wajah mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka semua kompak memasang wajah masam.

"Sombong banget! Uang dari mana coba. Paling juga nyicil." Bisik kak Zahra. Mereka semua berbisik menggunjing diriku, anehnya aku masih bisa mendengar suaranya.

"Demi sebuah genggsi, rela nyicil mobil. Hebat juga kamu, Dim." Ketus Doni yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya.

"Iya, Kak. Nggakpapa, saya nggak bisa keluar negeri buat beli kado Papa, tapi saya juga nggak pernah keluar negeri cuma beli kemeja doang. Kebahagiaan dan nilai fungsi itu jauh lebih penting, dari pada letak kita membelikan kado." Jawab suamiku yang sukses membuat tawa mereka reda.

Suamiku ini sangat bijaksana, tak pernah ingin membalas perkataan orang yang telah menyakiti hatinya. Jarang bisa menemukan pria seperti dirinya, itu saja sudah lebih dari cukup bagiku.

***

Setelah acara selesai, kami masuk kedalam kamar. Malam semakin larut, mataku belum ngantuk, entahlah aku masih penasaran dengan pekerjaan suamiku tadi.

Selama dekat dengan mas Dimas dulu, aku sungkan bertanya perihal pekerjaannya, takut dikira matre. "Dimas ini pekerja keras, kamu nggak akan nyesel nikah sama dia." Ucap papa meyakinkanku saat itu.

Saat bertemu dengan mas Dimas, penampilannya juga keren, bahkan Doni dan Fadli kalah jauh darinya. Pria manis bertubuh kekar itu selalu tampak memukau saat memakai pakaian formal. Bahkan, aku tak tahu kalau sebenarnya dia itu petani.

Kadang-kadang juga mas Dimas pakai pakaian seperti mandor, sepatunya kotor dengan lumpur. Kadang aku berfikir, sebenarnya suamku ini petani apa?

Selalu naik motor trail, sepatu besar dan selalu kotor. 

Tapi, kalau di rumah suamiku memang suka pake kaos, celana juga sederhana. Katanya gerah, beda dengan saudara-saudaraku, baju kantor mereka bisa dipake seharian bahkan mungkin dibawa tidur.

Biasalah OKB (orang kaya baru) norak.

"Mas, kamu dapet uang dari mana buat beli mobil Papa?" Tanyaku.

"Nabung." Jawabannya singkat, sambil beranjak menuju kamar mandi.

"Berapa lama kamu nabung buat beliin, Papa mobil?"

"Lumayan lama." Jawabnya sambil menutup pintu kamar mandi.

Aku duduk diatas ranjang, hatiku gusar menanti mas Dimas yang belum juga keluar dari kamar mandi. Pandanganku tak terlepas dari pintu kamar mandi yang masih terkunci.

"Kamu belum tidur, Dek?" Ucap mas Dimas, yang keluar dari kamar mandi, dengan handuk ynag masih melilit dibahunya. Aroma wangi tubuh mas Dimas langsung menyeruak saat dia sedang menyisir rambutnya yang masih basah.

"Sebenarnya kamu kerja apa, Mas?" Tanyaku spontan. Aku malas berbasa-basi, langsung saja pada intinya, sekarang sudah tidak canggung lagi karena dia sudah jadi suamiku.

"Kenapa nggak kamu tanya sebelum kita menikah?" Dia malah balik bertanya padaku.

"Aku sungkan, malu juga. Belum apa-apa udah nanya soal pekerjaan," jawabku jujur.

"Kalau begitu, kenapa kamu bisa yakin kalau aku bisa jadi suami yang bertanggungjawab?"

Aku sempat memeras otak untuk berpikir, mencoba mengingat alasan yang aku miliki sebelum menikah dengannya dulu. Namun, aku tak mengingat apapun, semua terjadi begitu saja.

"Kata Papa kamu pekerja keras, aku nggak perlu kaya sih, yang penting pekerja keras dan bertanggungjawab udah cukup," 

"Kamu satu-satunya wanita yang lulus seleksi," mas Dimas tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang berbaris rapi, putih bersih.

Aku mengerutkan kening, "Maksud kamu?" 

"Semua wanita yang aku kenal selalu kabur setelah tahu aku seorang petani. Aku tak suka orang yang pura-pura baik didepan tetapi diam-diam memanfaatkan, lebih baik seperti keluargamu,"

Sejenak aku berpikir, keluarga parasit itu memang keterlaluan. Aku tak enak pada mas Dimas, saat pertama kali dia masuk kerumah ini tak ada yang memberinya respon positif, semua orang kompak menghujani suamiku ini dengan hujatan saat diberitahu pekerjaannya, bahkan mereka juga tak berpartisipasi dengan acara pernikahanku.

"Maafkan keluargaku, Mas. Mereka sudah keterlaluan,"

"Tak apa, itu jauh lebih baik dari pada orang yang sok baik didepan tapi menusuk dibelakang. Aku sangat benci dengan orang munafik!" 

Sepertinya, Papa menjodohkanku dengan pria yang tepat, aku juga benci dengan orang yang munafik, sama seperti keluarga parasit itu.

"Jadi, kamu itu petani apa?" Tanyaku lagi, karena sudah tak tahan ingin tahu jawabannya.

"Cuma petani sawit, itupun milik almarhum kedua orangtuaku." Jawabnya.

Akhirnya, semua pertanyaan yang bersarang di benakku terjawab juga. Ternyata, suamiku ini punya lahan sawit. 

"Memangnya berapa luas, hingga kamu bisa beli mobil buat Papa?"

"Nggak luas, Dek. Tapi, insyaallah cukup untuk menghidupi keluarga kecil kita,"  jawabnya.

"Ada segini?" Aku menunjukkan lima buah jari tangan pada mas Dimas, pria ini mengangguk.

"Oh, cuma lima hektar," ucapku.

"Iya itu dulu, sekarang Alhamdulillah sudah bertambah jadi lima puluh hektar." Jawabnya yang sukses membuat jantungku ingin copot.

"Hah?... Kamu serius?"

Mas Dimas mengangguk.

"Lebih banyak lagi harta orangtuamu." Ucap mas Dimas.

"Tapi, terakhir kali aku dengar Papa itu bangkrut. Aku khawatir pada Papa, takut perusahaan itu hancur ditangan Doni dan Fadli, itu perusahaan penginggalan orangtua kandungku," 

Mas Diman menggenggam erat tanganku, mengerti akan kekhawatiran yang aku rasakan. "Tenang, itu nggak akan terjadi, aku jamin." Jawabnya sambil tersenyum.

***

Aku merasakan tubuhku berguncang, segera aku buka mata saat mendengar suara mas Diman yang membangunkanku dengan panik. 

"Ada apa, Mas?" Ucapku tak kalah panik.

"Kebun sawitku kebakaran, aku mau langsung ke lokasi." 

Mas Dimas buru-buru menyambar tas kerjanya. Lalu setelah itu berjalan dengan terburu-buru menuruni anak tangga, bahkan saat telah menikahpun, aku masih sering bangun siang, gini punya cita-cita jadi wanita karir.

"Mau keladang, Dim?" Tanya Fadli, sambil tersenyum mengejek.

"Iya, Kak." Jawab suamiku. 

Mas Dimas berpamitan pada papa dan mama, aku mengantarnya sampai kepintu depan, suamiku ini berangkat menggunakan motor trail miliknya. 

Aku kembali masuk kedalam rumah, hari ini hari pertama mas Dimas masuk kerja setelah menikah. Mungkin tadi dia terburu-buru, jadi pakaiannya seperti itu. Biasanya dia pakai kemeja sama seperti Doni dan Fadli.

Suamiku itu berpakaian selalu menyesuaikan tempat.

"Kok nggak ikut suamimu keladang, Kia. Bantuin panen cabai." Ucap Intan.

Langkah kakiku terhenti dianak tangga ketiga, hatiku meradang saat mereka selalu menjadikan pekerjaan suamiku sebagai bahan lelucon.

"Nanti Kia menyusul, bawa bekal buat makan siang," timpal Naya.

Ingin rasanya meremas mulut mereka degan cabai, lalu mengatakan tentang pekerjaan suamiku yang sebenarnya. Tapi, aku ingat pesan suamiku semalam, tetaplah terlihat biasa saja, namun aslinya luar biasa.

Karena zaman sekarang, orang pandai memanfaatkan suasana. Jika mereka tahu pekerjaan suamiku yang sebenarnya, aku yakin mereka akan memanfaatkan mas Dimas. Manusia licik ini, akan menjadi parasit pada siapapun yang bisa menguntungkannya.

"Kasihan suamiku harus berangkat kerja pagi-pagi buta begini, membanting tulang dibawah terik matahari dan dinginnya hujan. Bagaimana, kalau suamiku kerja di perusahaan Papa saja?" 

Fadli dan Doni tersentak. Mereka semua saling menatap, ketakutan mulai terpancar dari raut wajahnya. Takut posisi mereka digantikan oleh suamiku, karena perusahaan itu milik kedua orangtuaku.

"Papa udah bilang, tapi Dimasnya nggak mau,"

"Ya begitulah suamiku, Pa. Dia tak suka menggantungkan hidup dengan orang lain."

Aku tersenyum pada Doni dan Fadli, "Bekerjalah dengan baik di perusahaan milik kedua orangtua kandungku, Kak." Ucapku lantang hingga membuat wajah mereka merah. Semerah kepiting rebus.

Aku maju beberapa langkah, kemudian berhenti tepat didepan Doni, lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak disampingnya, kunci mobil yang sama dengan yang diberikan suamiku untuk papa semalam. 

"Oh ya, ini kunci mobil Papa yang diberikan Mas Dimas, hanya Papa yang boleh pake mobil ini. Kalau mau bergaya, pakai uang sendiri!" Ketusku kemudian kembali melanjutkan langkah.

IKUTI TERUS CERITA KAMI



Komentar

Postingan populer dari blog ini